Jumat, 14 Oktober 2011

JANGAN BIARKAN "SANG GATOTKACA" PATAH SAYAPNYA

oleh : Muhtar SP. - Wartawan Pikiran Rakyat 


"...Andai saja Batara Narada tidak keliru memberikan senjata Konta kepada Dipati Karna, mungkin ksatria Gatotkaca, tokoh heroik pembela kebenaran itu, tidak akan jatuh tersungkur ke bumi. Sayang, karena kelalaian dan ketidakcermatan wakil pimpinan dewa itu dalam mendelegasikan wewenang penggunaan Konta kepada orang yang tidak berhak, Gatotkaca pun binasa. Dan yang lebih mengenaskan, ia binasa oleh senjata yang dulu digunakan menolong jiwanya saat baru dilahirkan..."

          SEBENARNYA, saya termasuk orang yang kurang setuju dengan keputusan pemerintah mendirikan industri pesawat terbang. Dalam hemat saya, pemerintah saat itu telah keliru dalam menentukan titik start untuk memulai industri strategisnya. Sebagai bangsa agraris, mestinya industri yang mendukung pengembangan sektor pertanian yang lebih diutamakan. Sebut saja pabrik traktor, penggilingan padi atau mesin pengering. Selain pasar domestiknya sendiri sudah jelas, pengembangan industri pendukung sektor pertanian juga punya peluang besar ekspor ke sejumlah negara tetangga yang juga bersifat agraris.

          Tapi, ketidaksetujuan itu tak ada artinya sama sekali. Pemerintah memang punya kuasa dan keputusan membangun industri pesawat terbang ada di tangan pemerintah. Keputusannya sudah bulat. Dan yang lebih penting lagi, Pak Habibie yang baru kembali ke tanah air dari Jerman-setelah dibujuk secara susah payah oleh Pak Harto-memegang kartu truff. "Faktor Habibie" inilah yang sangat mempengaruhi keputusan pemerintah mendirikan industri pesawat terbang, sebuah kebijakan yang dinilai oleh sebagian kalangan "terlalu prematur" untuk ukuran Indonesia.

          Pendek kata, keputusan pemerintah membangun industri pesawat terbang sangat bergantung pada mulut Pak Habibie. Jika saja kala itu, yang dikatakan Pak Habibie adalah perlunya membangun pabrik traktor, sangat mungkin kita sekarang memiliki pabrik traktor yang bisa menyaingi Yanmar atau Kubota. Namun karena yang diusulkan Pak Habibie adalah industri pesawat terbang, maka kini kita punya PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN). Tak heran jika kemudian muncul sinisme, IPTN tidak lebih dari "menara gading" dan "mainan" Pak Habibie.

          Memang, dalam setiap kesempatan, Pak Habibie selalu bisa meyakinkan orang. Menurutnya, Indonesia perlu memiliki industri pesawat terbang yang berbasis pada high technology karena hanya dengan cara itulah Indonesia bisa menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia. "Kita harus mempelajari dan membangun yang paling sulit. Jika yang paling sulit ini telah kita kuasai dengan baik, yang lainnya menjadi soal gampang," katanya kepada pers beberapa tahun silam.

          Ucapannya itu memang terbukti setelah beberapa tahun kemudian, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) mampu membelalakkan mata bangsa-bangsa di dunia lewat produksi dan terbang perdana pesawat prototipe N-250 "Gatotkaca" pada 10 Agustus 1995. N-250 seluruhnya karya putra-putri bangsa Indonesia dan menjadi tonggak sukses PTDI menuntaskan tahap ketiga dari empat tahap proses transpormasi teknologi yang dicanangkannya. Sebelumnya, lewat pembuatan komponen sendiri di bawah lisensi, PTDI berhasil memproduksi beberapa jenis helikopter dan melalui kerjasama rancang bangun dengan sejumlah industri pesawat terbang berpengalaman, PTDI mampu melahirkan CN-235.

          Dengan bukti-bukti kemampuan dan sukses memproduksi pesawat itulah yang secara perlahan membangkitkan kebanggaan. Sejak era terbang perdana "Sang Gatotkaca" itulah kebanggan saya sebagai bagian dari bangsa ini yang merasa memiliki PTDI turut melayang membumbung tinggi. Dalam pikiran saya, PTDI tidak saja menjadi bukti akan kemampuan putra-putri Indonesia dalam penguasaan higtech. Lebih dari itu, PTDI bisa menjadi wahana bagi terpenuhinya kebutuhan air power (kekuatan matra udara) dan command dell'aria (penguasaan udara) yang kini menjadi salah satu doktrin militer modern.

          Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan sejumlah wilayah yang sulit dijangkau lewat jalan darat, keberadaan PTDI sangat vital. Khususnya melalui jenis-jenis pesawat berukuran kecil yang memang cocok untuk penerbangan domestik. Ini berarti, pesawat-pesawat PTDI bisa menjadi alat transportasi andalan masa depan di tanah air, sekaligus memainkan peranan sebagai jembatan penghubung dan alat perekat bagi bangsa Indonesia.

          Sayangnya, dunia politik di tanah air "terlalu dinamis". Saking dinamisnya, dalam rentang sekian periode selalu saja terjadi pergantian kepemimpinan yang ditandai oleh arah kebijakan politik yang demikian drastis. Dalam setiap peralihan kepemimpinan itu, arah kebijakan lama dianggap "najis" sehingga harus dibersihkan. Demikian juga produk-produk yang dihasilkan kebijakan pemerintahan lama, harus dihapuskan karena menjadi bagian tak terpisahkan dengan kebijakan pemerintah lama. Kondisi seperti itu dialami pula oleh PTDI.

          Sebelum era reformasi-yang ditandai tumbangnya pemerintahan rejim Soeharto-PTDI boleh dibilang hidup di kolam madu. Sebagai salah satu industri strategis, PTDI mendapat perlakuan hyper protected. Subsidi dana terus mengalir, seolah sumbernya tak terbatas. Orang-orang yang bekerja di PTDI pun memiliki gengsi tinggi di masyarakat. Citra perusahaan sangat ketata dijaga, termasuk pemberitaan di media massa. Kala itu di kalangan insan pers seolah berlaku aturan, jangan sekali-kali menulis sesuatu yang negatif mengenaiPTDI. Saat itu, siapa tak bangga menjadi karyawan PTDI. Bahkan ada seorang mertua sangat bangga terhadap menantunya karena sang menantu itu karyawan PTDI, padahal ia hanyalah karyawan rendahan.

          Sekarang, situasi telah berubah. Sebagai bagian dari produk kebijakan pemerintah Orde Baru, PTDI mengalami nasib yang nyaris sama dengan para elit Orde Baru. Bisa dikatakan, apa yang dialami PTDI kini benar-benar berbeda 180 derajat dari yang dialaminya dulu. Tidak ada proteksi. Tidak ada lagi upaya menjegal pers agar selalu memberitakan yang baik-baik saja mengenai PTDI. Bahkan terkesan ada upaya "membiarkan" citra PTDI hancur-hancuran. Subsidi pun dihentikan dan kini PTDI dibiarkan hidup secara mandiri. Yang lebih tragis lagi, bahkan ada pemikiran agar PTDI dilikuidasi alias ditutup saja operasinya karena dianggap hanya menghamburkan devisa negara.

          Memang benar, proses kelahiran PTDI sarat dengan muatan politisnya. Namun jika saya ditanya, setujukah jika PTDI dilikuidasi dengan alasan ia produk Orde Baru yang punya banyak stigma? Maka jawaban saya adalah, tidak! Analoginya begini. Semua orang pasti sangat tidak setuju, bahkan membenci, kepada pemerintah Belanda yang telah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun. Tapi apakah setelah mereka hengkang dari Indonesia kita juga patut membumihanguskan seluruh peninggalan mereka seperti gedung-gedung bersejarah, rel kereta api dan jalan raya, serta sejumlah sarana lain yang dibangun sebagai buah kebijakan pemerintahan kolonial ? Tentu saja tidak. Sepanjang peninggalan itu masih bisa memberi nilai manfaat bagi kehidupan, harus digunakan sebaik-baiknya.

          Demikian pula halnya dengan PTDI. Ia memang produk Orde Baru, tapi tetap saja PTDI merupakan aset bangsa yang harus diselamatkan. Tidak hanya aset-aset fisik bangunan dan sejumlah peralatan yang telanjur dibeli dengan biaya mahal, tetapi lebih dari itu, di PTDI sudah berkumpul sejumlah manusia dengan otak cemerlang yang menguasai high tech, khususnya di bidang kedirgantaraan. Sehingga, alangkah mubazirnya jika PTDI sampai dilikuidasi. Dengan seluruh aset dan sumber daya yang dimilikinya, PTDI tetap harus diberdayakan seoptimal mungkin.

          Oleh karena itu, sebagai urun rembug dalam memperingati 25 Tahun PT DI, yang pertama ingin saya kemukakan adalah, selamatkan dulu PTDI. Program penyelamatan ini menjadi langkah awal yang harus dilakukan dan tidak bisa ditunda. Ada dua cara dalam program ini. Pertama, baik manajemen maupun karyawan harus bahu-membahu menciptakan suatu kondisi perusahaan yang solid dan kuat, serta dikelola secara profesional. Perseteruan antara serikat karyawan dengan jajaran manajemen yang selama ini berkembang harus segera diakhiri dan dicari jalan penyelesaian terbaik.Perseeteruan hanya akan menghabiskan energi dan memperlemah perusahaan. Baik karyawan dan manajemen harus berada dalam suasana bathin yang sama, nasib yang sama dan perasanaan yang sama, bahwa sekarang merupakan masa-masa yang sulit bagi PTDI. Ini merupakan modal awal jika memang seluruh stake holder PTDI punya niat baik ingin keluar dari krisis dan memulai mengelola perusahaan sehingga bisa menguntungkan.

          Kedua, sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri strategis (dalam hemat saya), peran pemerintah tetap masih diperlukan. Pemerintah tidak bisa begitu saja lepas tangan dan membiarkan PTDI berjalan tertatih-tatih. Paling tidak, peran itu dalam bentuk kebijakan yang sifatnya mendukung bagi perkembangan PTDI sehingga mampu menjadikan dirinya sebagai perusahaan yang handal, profesional dan menguntungkan. Termasuk juga dukungan pendanaan bagi PTDI. Jika pemerintah menilai sudah bukan jamannya lagi memberi subsidi, maka sepantasnya pemerintah sebagai regulator juga mengatur cara-cara agar PT DI bisa mendapatkan sumber pendanaannya. Termasuk kemungkinan go public untuk menjaring investor.

          Hal lain yang perlu dikaji ulang adalah soal produk yang akan dihasilkan PTDI. Apakah tetap berkutat pada pesawat atau memang perlu diversifikasi ke produk lain seperti yang sekarang tengah dirintis. Untuk menentukan hal itu, tentunya harus disesuaikan dengan kemampuan PTDI sendiri dan kondisi pasar yang ada. Jika memang pasar pesawat masih menjanjikan, sebaiknya fokus saja di pesawat. Termasuk kemungkinan memproduksi jenis-jenis pesawat super mini yang bisa dimiliki oleh orang-orang Indonesia secara pribadi. Tapi jika pasar pesawat sudah tak mampu lagi dikreasikan, tentu saja program diversifikasi harus jadi pilihan.

          Yang jelas, apa pun alasannya, SDM yang dimiliki PTDI jangan sampai dibiarkan menganggur atau terbuang percuma. Mereka harus diberdayakan. Tentunya berdasarkan kebutuhan perusahaan. Untuk itu, visi perusahaan harus jelas, karena dengan visi itu, seluruh awak (SDM) di PTDI akan tahu ke mana arah yang mereka tuju dan pekerjaan apa yang harus mereka lakukan.

          Ibarat Gatotkaca, yang terlahir karena memang dibutuhkan, setalah ia terbang, janganlah dilukai sehingga patah sayapnya. Karena jika sampai sang Gatotkaca patah sayapnya, maka sia-sialah seluruh kesaktian yang dimilikinya. Karena kesaktian Gatotkaca hanya akan optimal jika ia diberi peran di angkasa. Sekian. Dirgahayu IPTN, ...eh PTDI.
Bandung, 25 Mei 2001


***

Biodata
Muhtar SP

Lahir di Karawang, 14 Juni 1968; Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 1995; Wartawan HU Pikiran Rakyat (1995- sekarang); Berkeluarga dengan seorang anak. Alamat : Redaksi HU Pikiran Rakyat Jl. Soekarno-Hatta No. 147 Bandung Telp: 022-6037755, Faks: 022-6031004, 6002751
 

N250 DAN KEBANGGAAN BANGSA

oleh : Hendarmin Djarab, SH., MBA 


Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, yang mendiami kepulauan Nusantara yang ribuan jumlahnya. Nenek moyang kita merupakan pelaut-pelaut ulung yang biasa mengarungi samudera luas. Karena itu, sejak dahulu, kita dikenal sebagai bangsa Bahari,yaitu bangsa yang menggunakan laut sebagai wahana transportasi dan kehidupan .

          Luas wilayah Indonesia yang membentang dari barat ke timur sama dengan jarak Los Angeles ke New York. Jarak yang demikian jauh, secara mutlak menyebabkan pesawat terbang menjadi sarana angkutan yang sangat penting dan kebutuhan utama bagi Indonesia. Itulah sebabnya Indonesia menjadi pasar pesawat terbang yang potensial dan paling menarik bagi negara-negara eksportir pesawat.

          Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17000 an pulau , adanya industri wahana transportasi laut dan udara, merupakan kebutuhan . Kebutuhan Indonesia akan kapal laut dan pesawat terbang , akan bersifat seumur-umur,selama geografi Indonesia masih seperti sekarang ini.. Kebutuhan itu diperkuat oleh suatu kenyataan bahwa pesawat atau kapal hanya berumur sekitar 25 tahun dan setelah itu ia harus diganti dengan yang baru. Jadi manakala satu paket pesanan selesai dibuat, produksi pertama perlu diganti, melahirkan kebutuhan pengadaan yang tanpa henti.

          Keadaan geografi dan sifat kebutuhan seperti itu jelas menjadi pasar yang siap atau captive market bagi industri transportasi, khususnya laut dan udara. Sekedar mencukupi semua kebutuhan dengan membeli , merupakan hal mudah, tetapi tidak akan melahirkan nilai tambah apa-apa bagi bangsa, tidak menambah penguasaan iptek, tidak berupaya menghemat devisa, dan memelihara sifat ketergantungan pada pemasok asing.

          Dengan meningkatnya transaksi perdagangan antar pulau / antar benua, transportasi melalui laut dikalahkan oleh transportasi udara. Jarak tempuh yang ribuan mil, dalam sekejap dapat dicapai oleh pesawat udara. Berbeda dengan kapal laut yang kecepatannya jauh di bawah pesawat udara. Fakta lain yang patut kita ketahui bahwa angkasa adalah wilayah transportasi tercepat, teraman dan termurah di dunia yang mempunyai masa depan yang gemilang, sebelum manusia meneruskan usaha mereka menjangkau planet-planet yang ada di galaxi.

          Ketika dunia makin menjadi satu, maka penguasaan angkasa menjadi tempat yang strategis untuk mempertahankan independensi wilayah nasional kita. Sebagai negara kepulauan, Indonesia tidak hanya diharapkan kuat di bidang kelautan, tetapi juga di bidang Kedirgantaraan. Lebih-lebih dengan perkembangan teknologi sejak beberapa tahun terakhir ini, semakin terbukti bahwa angkasa adalah wilayah transportasi tercepat, teraman dan termurah di dunia.

          Indonesia sebagai negara kepulauan, akan lebih meningkat pertumbuhan ekonominya bila ditunjang oleh kelancaran sarana transportasi udara . Juga dari segi Pertahanan Keamanan, TNI Angkatan Udara perlu memiliki pesawat-pesawat Terbang yang dapat mengamankan wilayah udara kita. Guna memenuhi kebutuhan tsb, Pemerintah meresmikan berdirinya PT Nurtanio ( sekarang PT Dirgantara Indonesia, disingkat PTDI ) pada tgl 23 Agustus 1976 di Bandung.

          Berdirinya PT Nurtanio, menunjukkan tekad dan komitmen Pemerintah untuk terwujudnya kemandirian bangsa di bidang Teknologi Kedirgantaraan. Tanggal 23 Agustus 2001 PTDI berusia 25 tahun. Usia yang cukup dewasa untuk ukuran manusia. PT DI memang seharusnya telah dewasa. Kalau kemampuan alih teknologi menjadi ukuran kedewasaan tsb, PT DI sudah boleh dikatakan dewasa karena ia telah mampu mengalihkan dan menguasai teknologi pesawat terbang yang modern.

          Dalam rangka proses alih teknologi tsb, telah banyak waktu, tenaga, fikiran dan anggaran yang dihabiskan . Demi kemajuan bangsa di bidang Teknologi, bangsa Indonesia c/q karyawan PTDI telah berbuat banyak untuk itu. Perjuangan itu mungkin belum maksimal. Memang perjuangan tsb belum maksimal dan tidak akan pernah berakhir selama manusia selalu berinovasi dan mencari terobosan-terobosan baru di segala bidang kehidupan.

          Sampai saat ini PTDI masih tetap berjuang untuk mempertahankan keberadaannya di dunia Industri pesawat terbang. Perjuangan tsb terasa lebih berat sejak ditanda-tanganinya LoI (Letter of Intents ) antara Pemerintah Indonesia dan IMF. Salah satu ketentuan LoI adalah larangan bagi Pemerintah RI untuk mengucurkan dana sepeserpun kepada PTDI. Sejak itu PTDI berusaha untuk mandiri, tanpa mengharapkan subsidi (dari Pemerintah).

          PTDI terus berjuang untuk maju, minimal tetap bertahan . Tiada istilah mundur bagi PTDI, kecuali Pemerintah tidak membutuhkan lagi keberadaannya. Sejak berdiri tahun 1976, PTDI telah mencatat beberapa prestasi. Prestasi itu antara lain keberhasilan membuat dan menjual pesawat C-212, BO-105, Super Puma, Bell-412 dan pesawat Turboprop CN-235 .

          Selanjutnya PTDI berhasil membuat sendiri pesawat Turboprop N-250 yang dikendalikan sistem 'fly-by wire'. Di jajaran pesawat komersial, N-250 adalah pesawat ke tiga di dunia yang menerapkan teknologi Fly by Wire setelah Airbus A320 dan Boeing 777. Dalam industri penerbangan, teknologi fly by wire baru dikembangkan pada tahun 1990-an. Teknologi ini dinilai mampu memberikan jaminan keamanan penerbangan yang lebih baik. Dengan fly by wire, komputer bisa sewaktu-waktu mengambil alih kemudi pesawat jika tiba-tiba pilot lengah. Sistem ini juga sekaligus melakukan berbagai koreksi terhadap 'kesalahan manusiawi' (human error) yang dilakukan pilot.

          Selain itu, pesawat N-250 merupakan pesawat pertama tercanggih yang menggunakan propeller. Ia memiliki kecepatan jelajah tinggi, mencapai 330 knot, dan juga mempunyai keunggulan pada aero-dynamic nya. Dalam pelaksanaan proyek pembuatan pesawat N250, sesungguhnya bukan hanya terkandung soal analisa dan strategi saja, melainkan juga optimisme, heroisme dan idealisme bangsa Indonesia untuk mewujudkan impiannya memiliki pesawat terbang buatan sendiri. Kalau boleh dikatakan, Proyek N-250 merupakan bagian dari perjuangan kita untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu mandiri di bidang kedirgantaraan.

          Dengan terlaksananya proyek N-250 berarti Indonesia telah mengukuhkan diri sebagai salah satu di antara sedikit negara di dunia yang mampu merancang-bangun sendiri pesawat terbang. PTDI telah berhasil membuktikan keandalan serta kemampuan membuat pesawat hasil rancang bangunnya sendiri.

N-250 dan Nilai-Nilai
          Proyek N-250 memang mengemban misi yang sarat dengan aspirasi nasional. N-250 bukan hanya merupakan wahana bagi aktualisasi kemampuan bangsa Indonesia dalam penguasaan dan pengembangan teknologi tinggi, serta sebagai lembaga ekonomi/bisnis belaka, melainkan juga prestise politik untuk diperhitungkan oleh negara manapun di dunia.

          Untuk menyongsong masa depan yang gemilang, generasi muda Indonesia perlu memperdalam, memperluas, memperkaya dan menyegarkan visi dan cita-cita mereka. Karena masa depan penuh dengan tantangan ,permasalahan dan persaingan. Mereka perlu menyuarakan cita-cita bangsa, merumuskan fikiran dan mengembangkan pandangan untuk menghadapi tantangan zaman.

          Bagi generasi muda Indonesia, proses pembangunan pesawat N-250 memberi makna penting dalam rangka alih teknologi dan pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia. Pesawat N-250 tidak mungkin terwujud tanpa ketekunan, disiplin, kerja keras , kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, ada nilai-nilai positif yang terkandung dalam proyek N-250.

          Pesawat N-250 adalah representasi (wujud yang mewakili) himpunan nilai-nilai yang sifatnya sangat mendasar demi tegaknya peradaban sebuah bangsa dan negara ( Limas Sutanto,N-250 " Gatotkoco " menghimpun Nilai-nilai", Pikiran Rakyat, 21 Agustus 1995). N-250 menyimpan sekian nilai (ranah) yang patut dibanggakan, antara lain: teknologi tinggi, penguasaan iptek, kerja keras, semangat mengabdi (dedikasi), disiplin tinggi, pengorbanan tanpa pamrih, tata-kerja yang terarah jelas pada tujuan yang diyakini benar ; keahlian (profesionalisme), ketaatan (komitmen) kepada kewajiban / tugas ; daya juang yang tinggi ; ketegaran dan ketabahan di tengah suka-duka ; aktualisasi diri ; harga diri ; kepakaran ; percaya diri ; pengharapan ; cinta ( kepada tanah air, bangsa, negara) ; kerja-sama ; saling mengerti dalam rangkuman kerjasama ; kesabaran-ketekunan-keuletan ; last but not least adalah iman dan taqwa kepada Tuhan YME.

          Spektrum nilai yang terkandung dalam tubuh N-250 sebagaimana terinci di atas, jauh lebih kaya dan tidak semata terpaku pada aspek teknologi. Dalam perspektif demikian, "harga" yang patut diberikan untuk pesawat terbang itu justru semakin tinggi, bahkan sampai tak ternilai. Keterwujudan pesawat N-250 adalah sebuah bukti ketaatan yang masuk akal (komitmen) putra-putri Indonesia kepada tata-nilai mendasar demi kejayaan bangsa dan negara. Inilah pelajaran hakiki yang tergelar secara nasional.

          Namun sayang, nilai-nilai itu tidak secara lengkap mendapatkan penonjolan (promosi)yang memadai di seputar gempita penerbangan perdana itu. Karena nilai-nilai itu, yang notabene nilai di luar iptek, sebenarnya sungguh sangat mendasar. Namun justru di saat ini, terasa betapa di tengah masyarakat luas, nilai-nilai itu, semisal dedikasi, disiplin dan daya juang tinggi dalam bingkai kesabaran-keuletan-ketekunan- di sana-sini terkikis oleh adat impulsif (suka pemuasan secara harus dan segera) adat kepraktisan tanpa mau bersusah-payah secara wajar dan kecenderungan menempuh jalan pintas yang "instantly" mendambakan kesuksesan.

          Kesadaran kita tentang keberadaan spektrum nilai yang maha kaya, majemuk dan banyak-matra (multidimensional) di tubuh N-250, mendorong jelajah pikir menuju wawasan yang lebih luas tentang eksistensi serta kesuksesan penerapan iptek.

          Iptek tak mungkin berdiri sendiri. Apalagi kalau yang dibicarakan adalah kesuksesan penerapannya, maka iptek harus dirangkum hangat oleh dukungan laras-serasi (harmonis) himpunan nilai-nilai mendasar sebagaimana tersebut d atas. Hikmahnya, memelihara dan menumbuh-kembangkan nilai-nilai demi kesuksesan penguasaan dan penerapan iptek, adalah sangat mendasar demi kejayaan peradaban dalam rangkuman negara-bangsa.

          Nilai-nilai yang mendasar itu secara objektif dan proporsional perlu disosialisasikan kepada generasi muda penerus bangsa. Dengan merenungkan dan mencamkan nilai-nilai itu, generasi muda diharapkan termotivasi untuk lebih serius dan lebih bersemangat dalam menuntut ilmu & belajar secara formal / informal , untuk membangun bangsa sehingga kita layak tampil sebagai bangsa yang kuat ; kuat di bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan teknologi.

Kebanggaan Bangsa
          Pesawat N-250 lahir setelah berpuluh tahun didambakan oleh bangsa Indonesia. Ia merupakan suatu konsensus mengenai rangkaian gagasan dan cita-cita nasional kita yang dikristalisasikan sebagai suatu "kebanggaan nasional".

          Mungkin tidak berlebihan bila proses pembangunan pesawat N-250 diibaratkan sebagai perjalanan intelektual yang mengingatkan kita pada proses pembangunan candi Borobudur. Borobudur bukan hanya kebanggaan rakyat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia.

          Kebanggaan suatu negara ternyata sangat mahal. Ia sering tak bisa dibeli dengan kemampuan berdiplomasi semata. Suatu bangsa akan dihormati dan disegani jika ia memiliki sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

          Jika sudah masuk ke persoalan tersebut, menjadi salah bila suatu bangsa semata-mata menggunakan rumusan matematik dan hukum ekonomi guna menghitung untung rugi. Ketika Habibie gencar memperkenalkan kebijakannya untuk merebut dan menguasai teknologi tinggi, banyak ahli ekonomi dan politik tampil ke depan membawa rumus kontra yang ruwet. Setelah mereka menghitung-hitung sangat lama, maka kesimpulan akhir, kebijakan Habibie adalah salah.( T.Taufiqulhadi,wartawan Media Indonesia, 12 Agustus 1995)

          Sebenarnya, mereka tidak perlu mengeluarkan berbagai rumus muskil-muskil. Dengan rumus matematika SD yang sederhana saja, terpampang jelas bahwa " proyek habibie tidak menguntungkan secara ekonomis". Tapi , apakah membangun bangsa yang kuat hanya butuh waktu dua hari atau tiga pekan ke depan ? Sebuah Jepang yang sangat sejahtera kini, adalah hasil proyeksi pemikiran yang jauh ke depan para pemimpin negara itu pada tahun 1930-an. Mereka yakin, marwah suatu bangsa harus direbut dengan keyakinan dan pengorbanan, bukan dengan pertengkaran atau debat kusir. Mereka mengatakan"Teknologi tinggi belum saatnya, atau, sudah terlambat !" Lantas jika demikian, kapan saatnya atau kapan tidak terlambat ?"

          Seorang wartawan yang baru datang dari Los Angeles, bercerita. Ketika ia berada di sana, beberapa rekan Muslim Amerika mendekatinya dan menyatakan hormatnya dengan proyek N-250 itu." Biarkan saya berbangga karena Indonesia adalah negara Muslim." Katanya tulus.

          Dari Muslim AS ini, kita tahu Muslim tidak hanya ada di Indonesia dan Amerika, tapi ada di Malaysia, Pakistan dan di belahan bumi lain di Afrika dan Asia Tengah.

          Keberhasilan Abdus Salam dari Pakistan meraih hadiah Nobel dalam bidang Fisika, adalah kebanggaan umat Islam di seluruh dunia. Kejeniusan Habibie dalam bidang kedirgantaraan, menjadi berita utama di sebuah koran di Bangladesh awal 1980-an , dan koran itu dipegang oleh seorang anak SD yang menunjukkan pada ibunya tentang tulisan "Sarjana Muslim membuat pesawat".

          Bagi kita , kebanggaan terhadap pesawat buatan sendiri N-250 tidak perlu dipaksakan. Biarlah kebangganan itu tumbuh secara alamiah. Mungkin waktulah yang akan menjawab, apakah N-250 layak dibanggakan atau tidak.


***

Biodata
Hendarmin Djarab

Lahir di Jambi, 26 September 1956. Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Corporate Lawyer PT. Dirgantara Indonesia, Pengurus The Bandung Lawyers, Legal Consultant law Office DMW. Editor buku Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia
 

Rabu, 12 Oktober 2011

KEDIRGANTARAAN INDONESIA II

          Sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan untuk memungkinkan berkembang lebih pesat, dengan Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, 1 Agustus 1960 dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP. Lembaga yang diresmikan pada 16 Desember 1961 ini bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi penerbangan di Indonesia.

          Mendukung tugas tersebut, pada tahun 1961 LAPIP mewakili pemerintah Indonesia dan CEKOP mewakili pemerintah Polandia mengadakan kontrak kerjasama untuk membangun pabrik pesawat terbang di Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan pabrik , pelatihan karyawan serta produksi di bawah lisensi pesawat PZL-104 Wilga, lebih dikenal Gelatik. Pesawat yang diproduksi 44 unit ini kemudian digunakan untuk dukungan pertanian, angkut ringan dan aero club.

          Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, tahun 1965 melalui SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) - yang intinya LAPIP - ; serta PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari.

          Pada bulan Maret 1966, Nurtanio gugur ketika menjalankan pengujian terbang, sehingga untuk menghormati jasa beliau maka LAPIP menjadi LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam perkembangan selanjutnya LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service, maintenance, repair & overhaul.

          Pada tahun 1962, berdasar SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan jurusan Teknik Penerbangan ITB sebagai bagian dari Bagian Mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan adalah Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie. Kedua tokoh ini adalah bagian dari program pengiriman siswa ke luar negeri (Eropa dan Amerika) oleh Pemerintah RI yang berlangsung sejak tahun 1951. Usaha-usaha mendirikan industri pesawat terbang memang sudah disiapkan sejak 1951, ketika sekelompok mahasiswa Indonesia dikirim ke Belanda untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan di TH Delft atas perintah khusus Presiden RI pertama. Pengiriman ini berlangsung hingga tahun 1954. Dilanjutkan tahun 1954 - 1958 dikirim pula kelompok mahasiswa ke Jerman, dan antara tahun 1958 - 1962 ke Cekoslowakia dan Rusia.

          Perjalanan ini bertaut dengan didirikannya Lembaga Persiapan Industri Pesawat Terbang (LAPIP) pada 1960, pendirian bIdang Studi Teknik Penerbangan di ITB pada 1962, dibentuknya DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia) pada 1963. Kemudian ditindaklanjuti dengan diadakannya proyek KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang) pada Maret 1965. Bekerjasama dengan Fokker, KOPELAPIP tak lain merupakan proyek pesawat terbang komersial.

          Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh putera Indonesia - B.J. Habibie - di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ. Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.


PENDIRIAN INDUSTRI PESAWAT TERBANG
A.PERINTISAN
          Ada lima faktor menonjol yang menjadikan IPTN berdiri, yaitu : ada orang-orang yang sejak lama bercita-cita membuat pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; ada orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dan membangun industri pesawat terbang; adanya orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat terbang; adanya orang yang mengetahui cara memasarkan produk pesawat terbang secara nasional maupun internasional; serta adanya kemauan pemerintah.7)

          Perpaduan yang serasi faktor-faktor di atas menjadikan IPTN berdiri menjadi suatu industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.

          Awalnya seorang pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, Bacharudin Jusuf Habibie. Ia menimba pendidikan di Perguruan Tinggi Teknik Aachen, jurusan Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian bekerja di sebuah industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.

          Menjelang mencapai gelar doktor, tahun 1964, ia berkehendak kembali ke tanah air untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia. Tetapi pimpinan KOPELAPIP menyarankan Habibie untuk menggali pengalaman lebih banyak, karena belum ada wadah industri pesawat terbang. Tahun 1966 ketika Menteri Luar Negeri, Adam Malik berkunjung ke Jerman beliau meminta Habibie, menemuinya dan ikut memikirkan usaha-usaha pembangunan di Indonesia.

          Menyadari bahwa usaha pendirian industri tersebut tidak bisa dilakukan sendiri., maka dengan tekad bulat mulai merintis penyiapan tenaga terampil untuk suatu saat bekerja pada pembangunan industri pesawat terbang di Indonesia yang masih dalam angan-angan. Habibie segera berinisiatif membentuk sebuah tim. Dari upaya tersebut berhasil dibentuk sebuah tim sukarela yang kemudian berangkat ke Jerman untuk bekerja dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi di industri pesawat terbang Jerman tempat Habibie bekerja. Awal tahun 1970 tim ini mulai bekerja di HFB/MBB untuk melaksanakan awal rencana tersebut.

          Pada saat bersamaan usaha serupa dirintis oleh Pertamina selaku agen pembangunan. Kemajuan dan keberhasilan Pertamina yang pesat di tahun 1970 an memberi fungsi ganda kepada perusahaan ini, yaitu sebagai pengelola industri minyak negara sekaligus sebagai agen pembangunan nasional. Dengan kapasitas itu Pertamina membangun industri baja Krakatau Steel. Dalam kapasitas itu, Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo (alm) memikirkan cara mengalihkan teknologi dari negara maju ke Indonesia secara konsepsional yang berkerangka nasional. Alih teknologi harus dilakukan secara teratur, tegasnya.

          Awal Desember 1973, terjadi pertemuan antara Ibnu Sutowo dan BJ. Habibie di Dusseldorf - Jerman. Ibnu Sutowo menjelaskan secara panjang lebar pembangunan Indonesia, Pertamina dan cita-cita membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Dari pertemuan tersebut BJ. Habibie ditunjuk sebagai penasehat Direktur Utama Pertamina dan kembali ke Indonesia secepatnya.

          Awal Januari 1974 langkah pasti ke arah mewujudkan rencana itu telah diambil. Di Pertamina dibentuk divisi baru yang berurusan dengan teknologi maju dan teknologi penerbangan. Dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf, 26 Januari 1974 BJ. Habibie diminta menghadap Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Presiden mengangkat Habibie sebagai penasehat Presiden di bidang teknologi. Pertemuan tersebut merupakan hari permulaan misi Habibie secara resmi.

          Melalui pertemuan-pertemuan tersebut di atas melahirkan Divisi Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina (ATTP) yang kemudian menjadi cikal bakal BPPT. Dan berdasarkan Instruksi Presiden melalui Surat Keputusan Direktur Pertamina dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang.

          September 1974, Pertamina - Divisi Advanced Technology menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB - Jerman dan CASA - Spanyol untuk memproduksi BO-105 dan C-212.

B. PENDIRIAN
          Ketika upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya - dengan nama Industri Pesawat Terbang Indonesia/IPIN di Pondok Cabe, Jakarta - timbul permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang berakibat pula pada keberadaan Divisi ATTP, proyek serta programnya - industri pesawat terbang. Akan tetapi karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana guna pembangunan dan mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa Indonesia pada Pelita VI, Presiden menetapkan untuk meneruskan pembangunan industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.

          Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, tanggal 15 April 1975 dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun segala aset, fasilitas dan potensi negara yang ada yaitu : - aset Pertamina, Divisi ATTP yang semula disediakan untuk pembangunan industri pesawat terbang dengan aset Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio/LIPNUR, AURI - sebagai modal dasar pendirian industri pesawat terbang Indonesia. Penggabungan aset LIPNUR ini tidak lepas dari peran Bpk. Ashadi Tjahjadi selaku pimpinan AURI yang mengenal BJ. Habibie sejak tahun 1960an.Dengan modal ini diharapkan tumbuh sebuah industri pesawat terbang yang mampu menjawab tantangan jaman.

          Tanggal 28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik yang diperlukan untuk berjalannya program yang telah dipersiapkan, pada 23 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya kemudian, pada 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.


          Dari tahun 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata. Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu konsep alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang ternyata memberikan hasil optimal dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif singkat, 24 tahun.


CN - 235

 N 250
hasil penguasaan teknologi putera-puteri Indonesia yang dirintis BJ. Habibie  

 
IPTN berpandangan bahwa alih teknologi harus berjalan secara integral dan lengkap mencakup hardware, software serta brainware yang berintikan pada faktor manusia. Yaitu manusia yang berkeinginan, berkemampuan dan berpen- dirian dalam ilmu, teori dan keahlian untuk melaksanakannya dalam bentuk kerja. Berpijak pada hal itu IPTN menerapkan filosofi transformasi teknologi "BERMULA DI AKHIR, BERAKHIR DI AWAL". Suatu falsafah yang menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap dalam suatu proses yang integral dengan berpijak pada kebutuhan obyektif Indonesia. Melalui falsafah ini teknologi dapat dikuasai secara utuh menyeluruh tidak semata-mata materinya, tetapi juga kemampuan dan keahliannya. Selain itu filosofi ini memegang prinsip terbuka, yaitu membuka diri terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai negara lain.

          Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membuat pesawat terbang tidak harus dari komponen dulu, tapi langsung belajar dari akhir suatu proses (bentuk pesawat jadi), kemudian mundur lewat tahap dan fasenya untuk membuat komponen. Tahap alih teknologi terbagi dalam :
·  Tahap penggunaan teknologi yang sudah ada/lisensi,
·  Tahap integrasi teknologi,
·  Tahap pengembangan teknologi,
·  Tahap penelitian dasar
          Sasaran tahap pertama, adalah penguasaan kemampuan manufacturing, sekaligus memilih dan menentukan jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri yang hasil penjualannya dimanfaatkan menambah kemampuan berusaha perusahaan. Di sinilah dikenal metode "progressif manufacturing program". Tahap kedua dimaksudkan untuk menguasai kemampuan rancangbangun sekaligus manufacturing. Tahap ketiga, dimaksudkan meningkatkan kemampuan rancangbangun secara mandiri. Sedang tahap keempat dimaksudkan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk baru yang unggul.

PARADIGMA BARU DAN NAMA BARU
          Selama 24 tahun IPTN relatif berhasil melakukan transformasi teknologi, sekaligus menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal disain, pengembangan, serta pembuatan pesawat komuter regional kelas kecil dan sedang.

          Dalam rangka menghadapi dinamika jaman serta sistem pasar global, IPTN meredifinisi diri ke dalam "DIRGANTARA 2000" dengan melakukan orientasi bisnis, dan strategi baru menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk itu IPTN melaksanakan program retsrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, serta penataan kembali sumber daya manusia yang menfokuskan diri pada pasar dan misi bisnis.

          Kini dalam masa "survive" IPTN mencoba menjual segala kemampuannya di area engineering - dengan menawarkan jasa disain sampai pengujian -, manufacturing part, komponen serta tolls pesawat terbang dan non-pesawat terbang, serta jasa pelayanan purna jual.

          Seiring dengan itu IPTN merubah nama menjadi PT. DIRGANTARA INDONESIA atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid, 24 Agustus 2000 di Bandung.

          Kita berkeyakinan bahwa industri ini harus terus mengikuti dinamika perkembangan jaman dan perubahan, agar upaya yang dirintis para pendahulu ini bisa tetap lestari serta memberi manfaat optimal bagi generasi mendatang. Untuk itu kita tetap berpijak pada sejarah.
***