Jumat, 14 Oktober 2011

JANGAN BIARKAN "SANG GATOTKACA" PATAH SAYAPNYA

oleh : Muhtar SP. - Wartawan Pikiran Rakyat 


"...Andai saja Batara Narada tidak keliru memberikan senjata Konta kepada Dipati Karna, mungkin ksatria Gatotkaca, tokoh heroik pembela kebenaran itu, tidak akan jatuh tersungkur ke bumi. Sayang, karena kelalaian dan ketidakcermatan wakil pimpinan dewa itu dalam mendelegasikan wewenang penggunaan Konta kepada orang yang tidak berhak, Gatotkaca pun binasa. Dan yang lebih mengenaskan, ia binasa oleh senjata yang dulu digunakan menolong jiwanya saat baru dilahirkan..."

          SEBENARNYA, saya termasuk orang yang kurang setuju dengan keputusan pemerintah mendirikan industri pesawat terbang. Dalam hemat saya, pemerintah saat itu telah keliru dalam menentukan titik start untuk memulai industri strategisnya. Sebagai bangsa agraris, mestinya industri yang mendukung pengembangan sektor pertanian yang lebih diutamakan. Sebut saja pabrik traktor, penggilingan padi atau mesin pengering. Selain pasar domestiknya sendiri sudah jelas, pengembangan industri pendukung sektor pertanian juga punya peluang besar ekspor ke sejumlah negara tetangga yang juga bersifat agraris.

          Tapi, ketidaksetujuan itu tak ada artinya sama sekali. Pemerintah memang punya kuasa dan keputusan membangun industri pesawat terbang ada di tangan pemerintah. Keputusannya sudah bulat. Dan yang lebih penting lagi, Pak Habibie yang baru kembali ke tanah air dari Jerman-setelah dibujuk secara susah payah oleh Pak Harto-memegang kartu truff. "Faktor Habibie" inilah yang sangat mempengaruhi keputusan pemerintah mendirikan industri pesawat terbang, sebuah kebijakan yang dinilai oleh sebagian kalangan "terlalu prematur" untuk ukuran Indonesia.

          Pendek kata, keputusan pemerintah membangun industri pesawat terbang sangat bergantung pada mulut Pak Habibie. Jika saja kala itu, yang dikatakan Pak Habibie adalah perlunya membangun pabrik traktor, sangat mungkin kita sekarang memiliki pabrik traktor yang bisa menyaingi Yanmar atau Kubota. Namun karena yang diusulkan Pak Habibie adalah industri pesawat terbang, maka kini kita punya PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN). Tak heran jika kemudian muncul sinisme, IPTN tidak lebih dari "menara gading" dan "mainan" Pak Habibie.

          Memang, dalam setiap kesempatan, Pak Habibie selalu bisa meyakinkan orang. Menurutnya, Indonesia perlu memiliki industri pesawat terbang yang berbasis pada high technology karena hanya dengan cara itulah Indonesia bisa menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia. "Kita harus mempelajari dan membangun yang paling sulit. Jika yang paling sulit ini telah kita kuasai dengan baik, yang lainnya menjadi soal gampang," katanya kepada pers beberapa tahun silam.

          Ucapannya itu memang terbukti setelah beberapa tahun kemudian, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) mampu membelalakkan mata bangsa-bangsa di dunia lewat produksi dan terbang perdana pesawat prototipe N-250 "Gatotkaca" pada 10 Agustus 1995. N-250 seluruhnya karya putra-putri bangsa Indonesia dan menjadi tonggak sukses PTDI menuntaskan tahap ketiga dari empat tahap proses transpormasi teknologi yang dicanangkannya. Sebelumnya, lewat pembuatan komponen sendiri di bawah lisensi, PTDI berhasil memproduksi beberapa jenis helikopter dan melalui kerjasama rancang bangun dengan sejumlah industri pesawat terbang berpengalaman, PTDI mampu melahirkan CN-235.

          Dengan bukti-bukti kemampuan dan sukses memproduksi pesawat itulah yang secara perlahan membangkitkan kebanggaan. Sejak era terbang perdana "Sang Gatotkaca" itulah kebanggan saya sebagai bagian dari bangsa ini yang merasa memiliki PTDI turut melayang membumbung tinggi. Dalam pikiran saya, PTDI tidak saja menjadi bukti akan kemampuan putra-putri Indonesia dalam penguasaan higtech. Lebih dari itu, PTDI bisa menjadi wahana bagi terpenuhinya kebutuhan air power (kekuatan matra udara) dan command dell'aria (penguasaan udara) yang kini menjadi salah satu doktrin militer modern.

          Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan sejumlah wilayah yang sulit dijangkau lewat jalan darat, keberadaan PTDI sangat vital. Khususnya melalui jenis-jenis pesawat berukuran kecil yang memang cocok untuk penerbangan domestik. Ini berarti, pesawat-pesawat PTDI bisa menjadi alat transportasi andalan masa depan di tanah air, sekaligus memainkan peranan sebagai jembatan penghubung dan alat perekat bagi bangsa Indonesia.

          Sayangnya, dunia politik di tanah air "terlalu dinamis". Saking dinamisnya, dalam rentang sekian periode selalu saja terjadi pergantian kepemimpinan yang ditandai oleh arah kebijakan politik yang demikian drastis. Dalam setiap peralihan kepemimpinan itu, arah kebijakan lama dianggap "najis" sehingga harus dibersihkan. Demikian juga produk-produk yang dihasilkan kebijakan pemerintahan lama, harus dihapuskan karena menjadi bagian tak terpisahkan dengan kebijakan pemerintah lama. Kondisi seperti itu dialami pula oleh PTDI.

          Sebelum era reformasi-yang ditandai tumbangnya pemerintahan rejim Soeharto-PTDI boleh dibilang hidup di kolam madu. Sebagai salah satu industri strategis, PTDI mendapat perlakuan hyper protected. Subsidi dana terus mengalir, seolah sumbernya tak terbatas. Orang-orang yang bekerja di PTDI pun memiliki gengsi tinggi di masyarakat. Citra perusahaan sangat ketata dijaga, termasuk pemberitaan di media massa. Kala itu di kalangan insan pers seolah berlaku aturan, jangan sekali-kali menulis sesuatu yang negatif mengenaiPTDI. Saat itu, siapa tak bangga menjadi karyawan PTDI. Bahkan ada seorang mertua sangat bangga terhadap menantunya karena sang menantu itu karyawan PTDI, padahal ia hanyalah karyawan rendahan.

          Sekarang, situasi telah berubah. Sebagai bagian dari produk kebijakan pemerintah Orde Baru, PTDI mengalami nasib yang nyaris sama dengan para elit Orde Baru. Bisa dikatakan, apa yang dialami PTDI kini benar-benar berbeda 180 derajat dari yang dialaminya dulu. Tidak ada proteksi. Tidak ada lagi upaya menjegal pers agar selalu memberitakan yang baik-baik saja mengenai PTDI. Bahkan terkesan ada upaya "membiarkan" citra PTDI hancur-hancuran. Subsidi pun dihentikan dan kini PTDI dibiarkan hidup secara mandiri. Yang lebih tragis lagi, bahkan ada pemikiran agar PTDI dilikuidasi alias ditutup saja operasinya karena dianggap hanya menghamburkan devisa negara.

          Memang benar, proses kelahiran PTDI sarat dengan muatan politisnya. Namun jika saya ditanya, setujukah jika PTDI dilikuidasi dengan alasan ia produk Orde Baru yang punya banyak stigma? Maka jawaban saya adalah, tidak! Analoginya begini. Semua orang pasti sangat tidak setuju, bahkan membenci, kepada pemerintah Belanda yang telah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun. Tapi apakah setelah mereka hengkang dari Indonesia kita juga patut membumihanguskan seluruh peninggalan mereka seperti gedung-gedung bersejarah, rel kereta api dan jalan raya, serta sejumlah sarana lain yang dibangun sebagai buah kebijakan pemerintahan kolonial ? Tentu saja tidak. Sepanjang peninggalan itu masih bisa memberi nilai manfaat bagi kehidupan, harus digunakan sebaik-baiknya.

          Demikian pula halnya dengan PTDI. Ia memang produk Orde Baru, tapi tetap saja PTDI merupakan aset bangsa yang harus diselamatkan. Tidak hanya aset-aset fisik bangunan dan sejumlah peralatan yang telanjur dibeli dengan biaya mahal, tetapi lebih dari itu, di PTDI sudah berkumpul sejumlah manusia dengan otak cemerlang yang menguasai high tech, khususnya di bidang kedirgantaraan. Sehingga, alangkah mubazirnya jika PTDI sampai dilikuidasi. Dengan seluruh aset dan sumber daya yang dimilikinya, PTDI tetap harus diberdayakan seoptimal mungkin.

          Oleh karena itu, sebagai urun rembug dalam memperingati 25 Tahun PT DI, yang pertama ingin saya kemukakan adalah, selamatkan dulu PTDI. Program penyelamatan ini menjadi langkah awal yang harus dilakukan dan tidak bisa ditunda. Ada dua cara dalam program ini. Pertama, baik manajemen maupun karyawan harus bahu-membahu menciptakan suatu kondisi perusahaan yang solid dan kuat, serta dikelola secara profesional. Perseteruan antara serikat karyawan dengan jajaran manajemen yang selama ini berkembang harus segera diakhiri dan dicari jalan penyelesaian terbaik.Perseeteruan hanya akan menghabiskan energi dan memperlemah perusahaan. Baik karyawan dan manajemen harus berada dalam suasana bathin yang sama, nasib yang sama dan perasanaan yang sama, bahwa sekarang merupakan masa-masa yang sulit bagi PTDI. Ini merupakan modal awal jika memang seluruh stake holder PTDI punya niat baik ingin keluar dari krisis dan memulai mengelola perusahaan sehingga bisa menguntungkan.

          Kedua, sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri strategis (dalam hemat saya), peran pemerintah tetap masih diperlukan. Pemerintah tidak bisa begitu saja lepas tangan dan membiarkan PTDI berjalan tertatih-tatih. Paling tidak, peran itu dalam bentuk kebijakan yang sifatnya mendukung bagi perkembangan PTDI sehingga mampu menjadikan dirinya sebagai perusahaan yang handal, profesional dan menguntungkan. Termasuk juga dukungan pendanaan bagi PTDI. Jika pemerintah menilai sudah bukan jamannya lagi memberi subsidi, maka sepantasnya pemerintah sebagai regulator juga mengatur cara-cara agar PT DI bisa mendapatkan sumber pendanaannya. Termasuk kemungkinan go public untuk menjaring investor.

          Hal lain yang perlu dikaji ulang adalah soal produk yang akan dihasilkan PTDI. Apakah tetap berkutat pada pesawat atau memang perlu diversifikasi ke produk lain seperti yang sekarang tengah dirintis. Untuk menentukan hal itu, tentunya harus disesuaikan dengan kemampuan PTDI sendiri dan kondisi pasar yang ada. Jika memang pasar pesawat masih menjanjikan, sebaiknya fokus saja di pesawat. Termasuk kemungkinan memproduksi jenis-jenis pesawat super mini yang bisa dimiliki oleh orang-orang Indonesia secara pribadi. Tapi jika pasar pesawat sudah tak mampu lagi dikreasikan, tentu saja program diversifikasi harus jadi pilihan.

          Yang jelas, apa pun alasannya, SDM yang dimiliki PTDI jangan sampai dibiarkan menganggur atau terbuang percuma. Mereka harus diberdayakan. Tentunya berdasarkan kebutuhan perusahaan. Untuk itu, visi perusahaan harus jelas, karena dengan visi itu, seluruh awak (SDM) di PTDI akan tahu ke mana arah yang mereka tuju dan pekerjaan apa yang harus mereka lakukan.

          Ibarat Gatotkaca, yang terlahir karena memang dibutuhkan, setalah ia terbang, janganlah dilukai sehingga patah sayapnya. Karena jika sampai sang Gatotkaca patah sayapnya, maka sia-sialah seluruh kesaktian yang dimilikinya. Karena kesaktian Gatotkaca hanya akan optimal jika ia diberi peran di angkasa. Sekian. Dirgahayu IPTN, ...eh PTDI.
Bandung, 25 Mei 2001


***

Biodata
Muhtar SP

Lahir di Karawang, 14 Juni 1968; Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 1995; Wartawan HU Pikiran Rakyat (1995- sekarang); Berkeluarga dengan seorang anak. Alamat : Redaksi HU Pikiran Rakyat Jl. Soekarno-Hatta No. 147 Bandung Telp: 022-6037755, Faks: 022-6031004, 6002751
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar