Rabu, 12 Oktober 2011

KEDIRGANTARAAN INDONESIA II

          Sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan untuk memungkinkan berkembang lebih pesat, dengan Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, 1 Agustus 1960 dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP. Lembaga yang diresmikan pada 16 Desember 1961 ini bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi penerbangan di Indonesia.

          Mendukung tugas tersebut, pada tahun 1961 LAPIP mewakili pemerintah Indonesia dan CEKOP mewakili pemerintah Polandia mengadakan kontrak kerjasama untuk membangun pabrik pesawat terbang di Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan pabrik , pelatihan karyawan serta produksi di bawah lisensi pesawat PZL-104 Wilga, lebih dikenal Gelatik. Pesawat yang diproduksi 44 unit ini kemudian digunakan untuk dukungan pertanian, angkut ringan dan aero club.

          Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, tahun 1965 melalui SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) - yang intinya LAPIP - ; serta PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari.

          Pada bulan Maret 1966, Nurtanio gugur ketika menjalankan pengujian terbang, sehingga untuk menghormati jasa beliau maka LAPIP menjadi LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam perkembangan selanjutnya LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service, maintenance, repair & overhaul.

          Pada tahun 1962, berdasar SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan jurusan Teknik Penerbangan ITB sebagai bagian dari Bagian Mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan adalah Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie. Kedua tokoh ini adalah bagian dari program pengiriman siswa ke luar negeri (Eropa dan Amerika) oleh Pemerintah RI yang berlangsung sejak tahun 1951. Usaha-usaha mendirikan industri pesawat terbang memang sudah disiapkan sejak 1951, ketika sekelompok mahasiswa Indonesia dikirim ke Belanda untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan di TH Delft atas perintah khusus Presiden RI pertama. Pengiriman ini berlangsung hingga tahun 1954. Dilanjutkan tahun 1954 - 1958 dikirim pula kelompok mahasiswa ke Jerman, dan antara tahun 1958 - 1962 ke Cekoslowakia dan Rusia.

          Perjalanan ini bertaut dengan didirikannya Lembaga Persiapan Industri Pesawat Terbang (LAPIP) pada 1960, pendirian bIdang Studi Teknik Penerbangan di ITB pada 1962, dibentuknya DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia) pada 1963. Kemudian ditindaklanjuti dengan diadakannya proyek KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang) pada Maret 1965. Bekerjasama dengan Fokker, KOPELAPIP tak lain merupakan proyek pesawat terbang komersial.

          Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh putera Indonesia - B.J. Habibie - di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ. Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.


PENDIRIAN INDUSTRI PESAWAT TERBANG
A.PERINTISAN
          Ada lima faktor menonjol yang menjadikan IPTN berdiri, yaitu : ada orang-orang yang sejak lama bercita-cita membuat pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; ada orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dan membangun industri pesawat terbang; adanya orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat terbang; adanya orang yang mengetahui cara memasarkan produk pesawat terbang secara nasional maupun internasional; serta adanya kemauan pemerintah.7)

          Perpaduan yang serasi faktor-faktor di atas menjadikan IPTN berdiri menjadi suatu industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.

          Awalnya seorang pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, Bacharudin Jusuf Habibie. Ia menimba pendidikan di Perguruan Tinggi Teknik Aachen, jurusan Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian bekerja di sebuah industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.

          Menjelang mencapai gelar doktor, tahun 1964, ia berkehendak kembali ke tanah air untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia. Tetapi pimpinan KOPELAPIP menyarankan Habibie untuk menggali pengalaman lebih banyak, karena belum ada wadah industri pesawat terbang. Tahun 1966 ketika Menteri Luar Negeri, Adam Malik berkunjung ke Jerman beliau meminta Habibie, menemuinya dan ikut memikirkan usaha-usaha pembangunan di Indonesia.

          Menyadari bahwa usaha pendirian industri tersebut tidak bisa dilakukan sendiri., maka dengan tekad bulat mulai merintis penyiapan tenaga terampil untuk suatu saat bekerja pada pembangunan industri pesawat terbang di Indonesia yang masih dalam angan-angan. Habibie segera berinisiatif membentuk sebuah tim. Dari upaya tersebut berhasil dibentuk sebuah tim sukarela yang kemudian berangkat ke Jerman untuk bekerja dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi di industri pesawat terbang Jerman tempat Habibie bekerja. Awal tahun 1970 tim ini mulai bekerja di HFB/MBB untuk melaksanakan awal rencana tersebut.

          Pada saat bersamaan usaha serupa dirintis oleh Pertamina selaku agen pembangunan. Kemajuan dan keberhasilan Pertamina yang pesat di tahun 1970 an memberi fungsi ganda kepada perusahaan ini, yaitu sebagai pengelola industri minyak negara sekaligus sebagai agen pembangunan nasional. Dengan kapasitas itu Pertamina membangun industri baja Krakatau Steel. Dalam kapasitas itu, Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo (alm) memikirkan cara mengalihkan teknologi dari negara maju ke Indonesia secara konsepsional yang berkerangka nasional. Alih teknologi harus dilakukan secara teratur, tegasnya.

          Awal Desember 1973, terjadi pertemuan antara Ibnu Sutowo dan BJ. Habibie di Dusseldorf - Jerman. Ibnu Sutowo menjelaskan secara panjang lebar pembangunan Indonesia, Pertamina dan cita-cita membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Dari pertemuan tersebut BJ. Habibie ditunjuk sebagai penasehat Direktur Utama Pertamina dan kembali ke Indonesia secepatnya.

          Awal Januari 1974 langkah pasti ke arah mewujudkan rencana itu telah diambil. Di Pertamina dibentuk divisi baru yang berurusan dengan teknologi maju dan teknologi penerbangan. Dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf, 26 Januari 1974 BJ. Habibie diminta menghadap Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Presiden mengangkat Habibie sebagai penasehat Presiden di bidang teknologi. Pertemuan tersebut merupakan hari permulaan misi Habibie secara resmi.

          Melalui pertemuan-pertemuan tersebut di atas melahirkan Divisi Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina (ATTP) yang kemudian menjadi cikal bakal BPPT. Dan berdasarkan Instruksi Presiden melalui Surat Keputusan Direktur Pertamina dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang.

          September 1974, Pertamina - Divisi Advanced Technology menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB - Jerman dan CASA - Spanyol untuk memproduksi BO-105 dan C-212.

B. PENDIRIAN
          Ketika upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya - dengan nama Industri Pesawat Terbang Indonesia/IPIN di Pondok Cabe, Jakarta - timbul permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang berakibat pula pada keberadaan Divisi ATTP, proyek serta programnya - industri pesawat terbang. Akan tetapi karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana guna pembangunan dan mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa Indonesia pada Pelita VI, Presiden menetapkan untuk meneruskan pembangunan industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.

          Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, tanggal 15 April 1975 dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun segala aset, fasilitas dan potensi negara yang ada yaitu : - aset Pertamina, Divisi ATTP yang semula disediakan untuk pembangunan industri pesawat terbang dengan aset Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio/LIPNUR, AURI - sebagai modal dasar pendirian industri pesawat terbang Indonesia. Penggabungan aset LIPNUR ini tidak lepas dari peran Bpk. Ashadi Tjahjadi selaku pimpinan AURI yang mengenal BJ. Habibie sejak tahun 1960an.Dengan modal ini diharapkan tumbuh sebuah industri pesawat terbang yang mampu menjawab tantangan jaman.

          Tanggal 28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik yang diperlukan untuk berjalannya program yang telah dipersiapkan, pada 23 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya kemudian, pada 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.


          Dari tahun 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata. Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu konsep alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang ternyata memberikan hasil optimal dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif singkat, 24 tahun.


CN - 235

 N 250
hasil penguasaan teknologi putera-puteri Indonesia yang dirintis BJ. Habibie  

 
IPTN berpandangan bahwa alih teknologi harus berjalan secara integral dan lengkap mencakup hardware, software serta brainware yang berintikan pada faktor manusia. Yaitu manusia yang berkeinginan, berkemampuan dan berpen- dirian dalam ilmu, teori dan keahlian untuk melaksanakannya dalam bentuk kerja. Berpijak pada hal itu IPTN menerapkan filosofi transformasi teknologi "BERMULA DI AKHIR, BERAKHIR DI AWAL". Suatu falsafah yang menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap dalam suatu proses yang integral dengan berpijak pada kebutuhan obyektif Indonesia. Melalui falsafah ini teknologi dapat dikuasai secara utuh menyeluruh tidak semata-mata materinya, tetapi juga kemampuan dan keahliannya. Selain itu filosofi ini memegang prinsip terbuka, yaitu membuka diri terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai negara lain.

          Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membuat pesawat terbang tidak harus dari komponen dulu, tapi langsung belajar dari akhir suatu proses (bentuk pesawat jadi), kemudian mundur lewat tahap dan fasenya untuk membuat komponen. Tahap alih teknologi terbagi dalam :
·  Tahap penggunaan teknologi yang sudah ada/lisensi,
·  Tahap integrasi teknologi,
·  Tahap pengembangan teknologi,
·  Tahap penelitian dasar
          Sasaran tahap pertama, adalah penguasaan kemampuan manufacturing, sekaligus memilih dan menentukan jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri yang hasil penjualannya dimanfaatkan menambah kemampuan berusaha perusahaan. Di sinilah dikenal metode "progressif manufacturing program". Tahap kedua dimaksudkan untuk menguasai kemampuan rancangbangun sekaligus manufacturing. Tahap ketiga, dimaksudkan meningkatkan kemampuan rancangbangun secara mandiri. Sedang tahap keempat dimaksudkan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk baru yang unggul.

PARADIGMA BARU DAN NAMA BARU
          Selama 24 tahun IPTN relatif berhasil melakukan transformasi teknologi, sekaligus menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal disain, pengembangan, serta pembuatan pesawat komuter regional kelas kecil dan sedang.

          Dalam rangka menghadapi dinamika jaman serta sistem pasar global, IPTN meredifinisi diri ke dalam "DIRGANTARA 2000" dengan melakukan orientasi bisnis, dan strategi baru menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk itu IPTN melaksanakan program retsrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, serta penataan kembali sumber daya manusia yang menfokuskan diri pada pasar dan misi bisnis.

          Kini dalam masa "survive" IPTN mencoba menjual segala kemampuannya di area engineering - dengan menawarkan jasa disain sampai pengujian -, manufacturing part, komponen serta tolls pesawat terbang dan non-pesawat terbang, serta jasa pelayanan purna jual.

          Seiring dengan itu IPTN merubah nama menjadi PT. DIRGANTARA INDONESIA atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid, 24 Agustus 2000 di Bandung.

          Kita berkeyakinan bahwa industri ini harus terus mengikuti dinamika perkembangan jaman dan perubahan, agar upaya yang dirintis para pendahulu ini bisa tetap lestari serta memberi manfaat optimal bagi generasi mendatang. Untuk itu kita tetap berpijak pada sejarah.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar